Oma Julia

Bulan kemarin, aku berkunjung ke rumah Utik, teman semasa kuliah. Saat itu ada perayaan ulang tahun anaknya yang ke-7. Beberapa teman kuliah lain juga datang. Aku datang ketika pesta sudah berakhir karena memang berangkat dari Bandungnya agak siang. Sehabis dari Pizza Hut, kami ngumpul di rumah Utik.

Rasanya lucu melihat kami ngumpul lagi, kali ini dengan bawaan krucil masing-masing. Dulu waktu kuliah, kosan Utik juga seringnya jadi markas ngumpul: dari mulai kerja kelompok, surprise ulang tahun teman, atau sekadar nginap rame-rame.

Semakin sore, obrolan kami juga makin ke mana-mana, sampai pada topik dunia pertetanggaan. Tentang tetangga yang kepo akan kehidupan tetangga lain. Membicarakan kenapa si ibu ini di rumah terus, kenapa yang ibu sana belum juga punya anak, kenapa si ibu situ anaknya sekolahnya jauh. Dan perghibahan ibu-ibu komplek sudah terjadi bahkan dari jaman orang tua kami.

Sampai akhirnya, salah satu dari mereka bertanya: Kalau di kamu gimana, Jen? 

Aku terdiam sejenak. Dipikir-pikir, cerita perghibahan seperti itu nggak ada sih di komplek rumah. Entah karena ini komplek lama, entah aku yang nggak gaul, entah karena sebenarnya toh pemilik rumah ini kan bapak ibu ya, aku generasi berikutnya gitu. Jadi, aku merasa sepertinya adem ayem saja, kalau tidak bisa dikatakan sabodo sama gosip, hahahaha....

Bicara soal tetangga, memiliki tetangga yang baik memanglah jadi salah satu bentuk rejeki juga. Aku nggak kenal semua orang di komplek. Hanya empat diantaranya saja, tetangga kanan-kiri, dan dua di depan. Dua karena sudah bertetangga dari lama, yang dua lagi merupakan 'warisan' dari ibu yang berelasi baik dengan mereka. Oh ya, saat menuliskan postingan ini. ibu sudah meninggal. Tahun ini memasuki tahun ke-2 nya, mungkin kapan-kapan aku cerita soal itu.

Kebaikan keempat tetangga ini juga makin terasa sejak ibu nggak ada. Kali ini aku ingin cerita tentang tetangga depan, Oma Julia atau aku memanggilnya dengan 'Oma'.

Aku nggak tahu persisnya Oma tinggal di depan rumah dari tahun berapa, tapi yang jelas Oma bukan penghuni lama (seenggaknya dari aku kecil gitu). Entah sejak kapan juga, pertemanan Ibu dan Oma dimulai dari mereka suka yoga barengan. Seringnya Ibu yang nebeng mobil Oma, kadang-kadang kalau sopir Oma lagi pulang kampung, gantian Oma yang barengan sama Ibu. 

Dulu, Oma tinggal bersama Opa. Opa suka rutin jalan pagi ditemani ART mereka. Sampai di tahun 2018, kalau nggak salah, Opa meninggal. Oma sempat tinggal hanya dengan ART dan sopir pada saat itu. Sekarang ada anak dan cucunya yang juga tinggal di rumah depan. Oh ya, dan seekor kucing lucu berbulu putih dengan warna mata yang berbeda. Oma seorang keturunan tionghoa. Ia sempat menjadi subjek penelitian skripsi lamaku yang masih bertema mengenai diskriminasi. Cerita Oma amat berkesan bagiku sampai saat ini.

Ketika pandemi melanda, kegiatan yoga yang diikuti Ibu dan Oma ditiadakan, jadi nggak ada lagi dua kali seminggu yang dihabiskan bersama waktu pagi-pagi. Namun, ibu-ibu, yang kebanyakan sudah eyang-eyang peserta yoga ini masih sering bertukar kabar atau mengirimkan makanan.

Itu juga yang dilakukan Oma kepadaku sejak Ibu nggak ada. Ada satu pesan dari Oma ketika menyampaikan belasungkawanya: bahwa PR-ku pasti banyak, aku harus bersabar. Sebenarnya  ku-screenshot pesan Oma, tapi dicari kok nggak ketemu. Pesan Oma menjadi salah satu pesan yang menguatkan. Aku merasa dimengerti oleh Oma.

Kalau kebetulan kami sama-sama ada di luar rumah dan saling liat, kami dadah-dadahan. Oma sering mengirimkan makanan untukku, beberapa sebenarnya ada yang merupakan makanan favorit Ibu, tapi bukan kesukaanku, tetap saja aku senang nerimanya. Yang lebih bikin terharu, sejak Ibu meninggal juga, setiap Lebaran, justru Oma yang mengirimkan ketupat dan teman-temannya, sedangkan aku malah nggak bikin ketupat sama sekali. 

Belakangan obrolan kami (sebenarnya bukan obrolan yang gimana-gimana sih, WA-ku sama Oma seringnya saling makasih aja kalo pas kirim-kiriman makanan) nyerempet ke kucing. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, kini di rumah Oma ada kucing putih lucu bernama Olaf. Suatu hari, tahu-tahu Oma kirim foto Olaf gitu aja ke aku. Atau nanyain kabar Mboel (yang dipanggilnya Milky) yang lama nggak kelihatan di depan. Oma ini sebenarnya takut kucing, anaknya yang memelihara si Olaf ini, tapi suka penasaran juga ia sama kucing-kucing yang keliaran di komplek ini, hehe...

Begitulah cerita tentang Oma. Terima kasih buat semuanya ya, Oma!

Comments