#30dayswritingchallenge - day 11: talk about your siblings

 "Iya, iya! aku emang anak ibu!"

"Kita emang anak ibu-bapak, mbak :))"


Emoticon tertawa pada balasan chatting terakhirku dengan kakakku semata-mata memang untuk mencairkan suasana, chill man chill~~~, begitulah kira-kira. Padahal sebenarnya aku takut sekali bikin dia marah. 

Semuanya berawal dari ia yang menitipkan belanja online padaku buat beli baju, menghabiskan uang yang banyak. Tak salah karena ya itu kan uang jerih payahnya sendiri. Hanya saja, di situasi pandemi kayak begini, lebih baik uang dialokasikan untuk sesuatu yang (amit-amit) darurat. Belanja banyak seperti itu bukan sekali ini saja dilakukannya. 

"Kalau aku atau ibu belanja-belanja yang nggak perlu, ingatin ya"

dan, tak sekali itu juga ia minta diingatkan seperti itu. Ia selalu merasa sifat borosnya turunan dari ibu. Pusing kan, bre.

Tapi ya sudahlah, aku hanya mengingatkan toh pada akhirnya aku transfer juga titipan belanjaannya. 

*

Ulang tahunku kemarin, ia memberikanku kejutan dengan mengirimkan banyaaak sushi salmon. Hasil stalking-nya pada akun ig-ku dan menemukan Just Salmon. Aku tentu saja senang dan tak menyangka karena beli sushi adalah keinginanku hari itu. Namun, karena pertimbangan harga yang lumayan besar, akhirnya tak jadilah aku beli sushi.

Meskipun di hari ulang tahunku kemarin kerjaanku makan, makan, dan makan terus, sungguh jackpot mendapatkan berpuluh-puluh sushi salmon untuk makan malam.

Aku sering heran, ada apa sih sebenarnya antara aku, salmon, dan kakakku?


Ingatanku kembali ke tahun 2013 saat menginap di kosannya di Jakarta saat itu. Ia membeli banyak daging salmon yang sedang promo. Maka, di pagi hari ia membuatkanku bihun goreng dan seabrek salmon ditumis dengan margarin.

Tentu aku merasa sangat istimewa dan mevvah sekali sarapanku, ya. Tapi, sesuatu yang berlebihan lama-lama bisa bikin enek juga.

Aku yang mulai pucat saat itu daripada muntah, ku berterus terang saja, "Mbak, aku nggak sanggup lagi."

Ku~ tak sanggup lagi~ menerima~ salmon darimu~~

 

Yang tentu saja, menyulut bara api di mata kakakku itu,

"Abisin", hanya itu balasannya. Entah dapat tenaga dari mana, aku bisa menghabiskan tumisan salmon itu. Yang jelas, beberapa hari setelahnya, melihat salmon-salmon segar berwarna oranye di supermarket sungguh membangkitkan gejolak memori yang sulit dideskripsikan.

 

Begitulah kisahku dengan kakakku dan salmon yang penuh gizi. 

*

Bandung, 22 September 2020

Comments