Sepiring Mi Goreng

Ia terhuyung duduk di meja makan, menopang wajahnya yang kuyu. Bibirnya benar-benar manyun, ia menatap dirinya pada bayang-bayang kaca tepat di depan. Topangan kedua tangan tak kuasa menahan, mukanya dibenamkan di meja. 

Lalu, air mata mulai menetes satu-satu dan bahunya naik turun. Dalam pikirnya, muncul bayangan anak TK berambut cepak yang sama menangis tersedu-sedu sepulang sekolah gegara celananya melorot dan ia malas sekali bersekolah, inginnya makan kentang goreng sambil menonton kartun favorit di televisi. 

"Hei, kau lapar. Mau pesan makanan lewat daring?", aku bertanya.

Ia ambil tisu, mengelap air mata, menyemprotkan ingus yang banyak. 

"Kau sendiri bilang, kita harus berhemat mulai bulan ini dan beberapa bulan ke depan. Bulan lalu sudah banyak jajan."

Aku mengangguk membenarkan omongannya, "Indomie?"

"Goreng."

"Pakai telur setengah matang?"

"Aku lebih suka kornet."

"Irisan cengek?"

"dan cabe bubuk sedikit."

"Kuberi parutan keju, ya?"

"...tapi makanan instan itu tidak sehat, tahu."

"Kali ini, persetanlah dengan kesehatan."


Sebungkus mi instan dibuka, sesekali ingus terdengar disedotnya, masih banyak stok ternyata. Dua gelas air dituang di panci, ditaruh di kompor, tombol diputar, dan api menyala. Dikeluarkan bumbu-bumbu: bubuk kaldu, minyak, kecap, dan saus sambal. 

Sebungkus kornet masih tersedia di lemari atas tempat cuci piring, ah ya... di sebelahnya persis bubuk cabe. Di kulkas, di pintu sebelah kirinya sekotak keju yang tinggal separuh isinya, lalu sebuah cengek digamit. 

Air mulai mendidih, mi garing masuk, mengapung, berpindah-pindah di sisi tiap panci. Ditusuk-tusukkan garpu agar cepat lunak. Buih-buih air makin meluap, menciptakan desis pada pinggir panci. Mi bergulung pada garpu, ditarik-tarik menjauhi panas, cukup. Ia tidak terlalu suka yang mengembang, tombol diputar ke kiri, api mati, buih-buih perlahan tenang, menjauhi pinggir-pinggir panci, sekejap mengingatkan pada ombak pantai. 

Penyaring menampung mi, air panas terjun pada serat-serat kecil. Naik-turun-naik-turun, memastikan mi kering, tidak terlalu banyak air. Dituang pada mangkok ayam jago, uapnya mengepul. Denting garpu dan sendok beradu dengan lapisan mangkok. Bumbu kaldu terlihat menggumpal, mesti agak diratakan, bau kaldu ayam bercampur minyak, seleret aroma sambal mengusik, bawang goreng sekilas terlihat di sela-sela mi.

Kornet disebar di atas mi, keju diparut, sulur-sulur menutupi kornet, baru taburan bubuk cabe, terakhir potongan-potongan cengek melengkapi. 

Seruput mi berpadu dengan tarikan ingus, entah bekas menangis atau hasil pedasnya cabe bubuk plus rawit. Air matanya sesekali juga masih mengalir.

"Jadi, kau mau apa?", terdengar tanya di kepalanya.

"Aku ingin resign."

"Aku dukung."

"Tapi, aku takut."

"Simpan dulu takutmu, habiskan minya."

TAMAT

Rumah, 27 Agustus 2020, 14.00

Comments