#30dayswritingchallenge - day 9: write about happiness

Kau yakin? Masih ada waktu kalau mau berubah pikiran.

Mar melihat pantulannya sendiri di cermin berembun akibat uap dari air hangat di bak mandi. Ia menghela napas. Pintu kamar mandi diketuk, membuat Mar sedikit terkejut meski si pengetuk melakukannya dengan wajar.

"Yang, kok lama?", Tedi bertanya.

Mar membuka pintu, pipi Tedi basah akan kecupan kilat Mar.

"Kamu jadi ikut?", Tedi bertanya akan hal yang sama seperti yang terus muncul di pikiran Mar sendiri.

"Pasti jadi dong!", Mar yakin, Tedi tersenyum ragu, "Tak apa lho kalau---", Mar mengunci kelanjutan kata-kata Tedi dengan telunjuk pada bibirnya.

"Aku memang ragu, tapi rasanya aku mau mati di rumah terus, dan aku nggak mau mati penuh penyesalan. Kamu... siap nih aku ikut?"

Tedi merangkul Mar, mengecup kening yang masih lembap, "Aku senang banget kamu ikut."

*

Ini kali pertama Mar dan Tedi melakukan perjalanan bersama. Mar pada dasarnya lebih senang di rumah. Ia pekerja lepasan, pembuat konten, sesekali penerjemah, sedangkan Tedi, sedari dulu memang senang melancong, baik dengan teman-teman, maupun solo. 

Pandemi menyadarkan Mar bahwa ia tidak sepenuhnya suka berada di rumah terus-terusan. Berbulan-bulan di rumah akibat peraturan pemerintah sebagai upaya menekan penyebaran virus, membuat Mar stres sendiri. Nada bicaranya mulai tinggi pada Tedi, hingga pada suatu hari,

"Aku mau berkemah. Ranca Upas. Sendiri saja, aku bisa gila lama-lama nggak bisa ke mana-mana."

"Ikut", jawab Mar singkat.

"Mar? Kamu sakit?"

"Aku rasa kamu tahu aku sakit dari kemarin-kemarin, kan? Aku juga bisa gila lama-lama di sini terus. Aku boleh ikut, Ted?"

"Aku... senang kalau kamu ikut, Yang. Cuma, aku berkemah, bukan menginap di hotel."

"Iya, aku tahu. Tempatnya sepi, kan?"

"Ya, aku menghindari keramaian."

"Pilihan yang bagus."

"Ok, minggu depan?"

Mar mengacungkan jempol.

*

"Pakai syal dan kuplukmu, Mar. Akan semakin dingin. Aku siapin unggun biar hangat dan masak-masak kita, ya."

Setibanya mereka di tempat kemah, Mar mencoba membantu Tedi. Tedi menerima, meski tahu sia-sia. Bantuan Mar malah membuat Tedi kerja dua kali. Tapi Mar menyiapkan segala perencanaan perbekalan dari seminggu lalu. Banyak. Jika Tedi seorang, paling hanya segala yang instan. Mar menyiapkan sate-sate ala suki, juga sayuran dan kuah kaldu segala. Tedi geli sendiri.

"Kalau kamu sendiri ke sini, kamu ngapain aja?"

"Aku, nggak akan bawa makanan banyak-banyak, nggak akan bawa kayu bakar juga."

"Repot ya ada aku?"

"Ya, sudah tahulah", Mar mencubit Tedi, "Biar kamu nggak kapok, Yang."

Mar dan Tedi mengolesi bumbu panggang pada sate-sate suki, Mar menambahkan bubuk paprika untuk jatah Tedi.

"Dipikir-pikir, harus ada pandemi dulu, ya buat ngajak kamu pergi begini."

"Kayaknya kamu nggak ngajak deh, Ted. Aku yang mau, kamu pucat waktu aku bilang mau ikut."

"Aku kira kamu benaran sakit, Yang."

Mar memanaskan kuah kaldu pada kompor, memasukkan selada, jamur kancing, sawi, dan bumbu ketumbar, sedangkan Tedi masih membolak-balikan sate. 

"Maafin aku tensi tinggi di rumah, ya", pinta Mar.

Tedi tersenyum, Mar gemas karena senyuman Tedi penuh kemenangan,

"Minta maaf tapi kok seperti nggak rela begitu?"

"Kesal sih, yang suka jalan-jalan kan kamu. Kenapa malah aku yang marah-marah, ya?"

Mar dan Ted tertawa. Sate suki telah matang, begitu pula sup kaldu yang mengepul. Ted dan Mar duduk beralaskan rumput, menikmati hangat dari api dan juga kuah kaldu di bawah kerlip bintang.

"Aku nggak kapok, Ted. Kamu yang harusnya kutanya, kapok aku ikut?"

"Nggak, Giziku terjamin gini."

*

Bandung, 20 September 2020

Comments