#30dayswritingchallenge - day 3: a memory

Aku berdiam di bangku-bangku pendek. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu. Dikira dengan duduk diam begitu, terus bakal tidak ketahuan? Dari pintu gerbang, Pak Mul muncul dengan Bu Hasan mengikuti di belakangnya.

"Ini dia, Bu anaknya," Pak Mul tersenyum ramah.

"Ayooo Isma, kok tidak ke kelas Ibu?"

Bu Hasan dengan segala air muka baiknya. Ini sudah ke sekian kali aku malah main ke TK ketika seharusnya aku mengikuti les bahasa sunda bersama Ibu Hasan. Seingatku, aku harus menunggu waktu pulang anak kelas enam yang Bu Hasan ajar, sedangkan aku si anak kelas dua pulang lebih awal.

Aku jajan dulu-- ah ya, masa-masa ngutang ke kantin--, main ke TK, mengobrol dengan Bi Asih, salah satu pegawai dapur sekolah. Dan ya, tetap saja berdiam di TK, berharap Bu Hasan tidak mencariku. 

Lupa kapan persisnya, aku tidak kabur-kabur lagi saat tiba waktunya les. Dengan sigap, aku duduk di bangku-bangku depan kelas 6, menunggu para kakak kelasku berhambur keluar, lalu masuk dan menyapa Bu Hasan.

"Selamat siang, Ibu."

"Siang, Isma. Sok taruh tas dulu."

Bu Hasan mengambil dompetnya di dalam tas, memberikanku beberapa uang kertas lima ratus rupiah.

"Beli kopiko buat Ibu. Sisanya, terserah Isma mau jajan apa."

Begitulah. Motivasiku belajar tak jauh-jauh harus diiming-imingi makanan dulu. Aku suka membeli siomay basah atau telur nasi goreng, atau lontong pakai kerupuk pedas. Kalau aku jajan es cokelat suka ditegur Bu Hasan,

"Jangan sering-sering jajan es cokelat, Isma. Nanti batuk."

Bu Hasan, memakai setelan blus berkerah dengan rok selutut, rambutnya dicepol dengan jepitan berjaring, bisa terlihat warnanya yang memutih di sana sini. Ia memakai kacamata saat mengajariku, kami duduk bersebelahan. Terkadang, sisa permen kopi ia selipkan di kantong seragamku, untuk bekal pulang.


Bandung, 14 September 2020

Comments