Makan Siang Bersama Bang Hamid

"Sudah pakai pembersih tangan?"

"Sudah, Bang."


Bang Hamid melihat ke arah bawah, memastikan alas kaki saya sudah terlepas, ia tersenyum tipis.

"Saya bawa laporan tes dan observasi mahasiswa yang sudah dikoreksi ya, Bang."

"Taruh meja kerja, ya", pintanya.

Saya berjalan ke sudut ruangan, menggeser pintu ruang kerja Bang Hamid. Sejenak tercium aroma lemon, sudah berganti rupanya dari pinus bulan lalu.

Meja kerja Bang Hamid penuh, namun tetap tersusun rapi, ia berikan label pada masing-masing tumpukan.

Psikologi Abnormal

Forensik

Kasuistik II

Skripsi Mahasiswa

Pada tumpukan Psikodiagnostika V, saya menaruh laporan-laporan mahasiswa kami. Lalu, menarik selembar tisu basah dekat pintu dan menutup kembali kamar kerja beliau.

Bi Arum tersenyum pada saya dari balik dapur, melirik pada Bang Hamid yang tidak memerhatikan kami, lalu melambai pada saya, ia minta dihampiri sebentar.

"Bapak belum minum obat, Non. Susah sekali diberi tahu, bisa Non bantu mengingatkan?"

Saya tersenyum pesimis, "Saya coba dulu ya, Bi. Gimana keadaan Bapak sejak pulang dari rumah sakit, Bi?"

"Begitulah, Non. Seringnya tidak tidur semalaman, tumben-tumbennya kemarin tidur cepat. Makan juga sering tidak habis."

"Terima kasih ya, Bi, sudah sabar jaga Bapak."

Saya menghampiri Bang Hamid di teras halaman belakang. Rupanya sedang membaca ia.

"Baca apa, Bang?"

"Jurnal terbaru himpunan. Seperti biasa, sampah isinya!"

Saya terbatuk, refleks. Begitulah Bang Hamid, suka terlalu sinis. Bang Hamid menutup jurnalnya, melepas kacamata bacanya, "Gimana praktikum minggu ini? Mahasiswa tetap mengikuti prosedur dong?"

"Aman, Bang... Terapi kejut dari Abang kan selalu berpengaruh, nempel terus sama mahasiswa."

"Kamu jangan lengah kalau saya tidak ada. Mereka pasti senang ya, saya lama absen mengajar?"

"Beberapa dari mereka menanyakan Abang, lho:

Mbak, gimana kabar Bang Hamid? 

Bang Hamid sudah baikan, Mbak?

Bahkan, ada yang bilang gini: Rasanya seperti ada yang kurang ya, Mbak, tidak ada Bang Hamid itu."

"Jangan mengarang kamu, Ratna!"

"Tebak dong, Bang... siapa yang merasa hampa dengan ketidakhadiran Abang?"

Bang Hamid memalingkan muka seakan tak peduli, tapi saya tahu persis ia menunggu jawabannya.

"Sena", jawab saya sambil menyengir lebar.

"Halah! Si Bratasena mahasiswa onta itu??"

Saya mengangguk, "Mahasiswa kesayangan Abang."

"Sembarangan kamu, Ratna!"

Saya tertawa, "Dia itu sangat mengagumi Abang Hamid, lho. Setiap materi yang disampaikanmu selalu dicatatnya, ia juga kerap membaca karya ilmiahmu, Bang. Dan saya tahu persis, Abang juga tahu anak itu kritis kan, Bang?"

"Kamu kalau ngomong jangan aneh-aneh, Ratna."

"Hehehe, iya Bang, hanya pengamatan saya saja."

"Perbaiki observasimu, Ratna. Kalau tidak, lebih baik saya minta asisten baru saja ke si Farida."

"Diganti Bratasena, Bang?"

Bang Hamid mendelik, sebelum saya kena semprot caci makinya, saya sela terlebih dahulu,

"Iya, Bang Hamid, maaf. Beberapa minggu memegang kelas sendiri, sepertinya saya jadi ngaco. Tapi. percayalah Bang... mahasiswa merindukanmu di kelas. Obatnya rajin diminum ya, Bang. Sudah makan, Bang?"

"Malas saya makan."

 

Saya berjalan menengok meja makan, tersaji asam-asam patin dan kangkung. Memang bukan Abang sekali, sih. 

"Seperti makanan rumah sakit saja. Serba pucat", keluh Bang Hamid. 

"Saya ke dapur sebentar ya, Bang."

*

"Bi, ada terasi?"

"Ada, Non."

"Makanan di meja, tolong dipanaskan lagi ya, Bi. Kalau rawit, bawang merah, gula merah, ada Bi?"

"Ada Non, sebentar saya siapkan."

Seketika bau terasi menguar, menyenggak menusuk hidung. Saya sendiri bersin-bersin dibuatnya, menyusul Bi Arum, dan tentu saja sang empunya rumah.

"Bikin apa si Ratna ini sih??"

"Hehehe, makanan sudah hangat, Bang!"

Ia melihat sambal terasi bikinanku pada cobek kecil, "Biar makanannya berwarna sedikit daripada makanan rumah sakit". Saya mengambil piring sendiri,

"Mau diambilkan lauknya, Bang?"

"Saya bisa ambil sendiri."

"Sedikit sekali, Bang. Tambah kangkung, ya... dan ini, coba sambal dadak buatan saya."

Saya menyendokkan nasi beserta lauk pauk, meyakinkan Bang Hamid ikut makan. Ia makan. Pertama, perlahan dan sedikit-sedikit, seperti enggan. Ia agak kepanasan dengan kuah asam-asam, tapi dilanjutkannya juga, kali ini dicampur sambal terasiku. Sekilas matanya melotot, lalu suapannya semakin lahap.

"Tidak sia-sia kamu mengacaukan dapur orang, ya."

"Kata ibu saya, orang kalau malas makan, sediakan sambal terasi, ikan asin, dan nasi mengepul. Abang naik kelas, Bang, ikannya patin."

"Tapi nasihat ibumu yang minta kamu cepat kawin kenapa tak kamu dengarkan, Ratna?"

"Abang mulai menyebalkan ini..."

Ia tertawa puas. Tawanya setelah sekian minggu tak kudengar.

"Habis makan, obatnya diminum ya, Bang."

"Kasih resep sambalmu ini pada Bi Arum, Ratna."

"Laksanakan, Bang!"

*

"Saya udah deg-degan waktu Bapak bersin-bersin, Non! Takut ngamuk", Bi Arum terkekeh saat kami mencuci piring.

"Hahahaha, saya juga takut, Bi! Untung semua baik-baik, ya. Diminum tuh, Bi obatnya."

"Syukurlah, Non."

*

"Saya pamit dulu ya, Bang."

 "Pulang sama siapa kamu, Ratna?"

"Tukang ojek biasa, Bang."

"Carilah yang bisa antar jemput, jangan terus-menerus tukang ojek."

"Abang tidak mau titip salam untuk mahasiswa kesayanganmu, si Bratasena?"

"Cepatlah pulang kamu, Ratna!"

"Diminum obatnya teratur ya, Bang Hamid."

Saya undur diri sore itu, menikmati angin sepoi dalam boncengan tukang ojek. Membaui tangan sendiri yang masih lekat dengan aroma terasi, mengembangkan senyum pada bibir. 

TAMAT 

Bandung, 17 Agustus 2020

Comments