Adik Kembarku

Eko minta ditemani menonton kartun favoritnya, Upin dan Ipin, kartun dari Malaysia dan keseharian mereka hidup di suatu kampung. Lucu juga sebenarnya, melihat sisi kehidupan Malaysia yang tidak banyak gedung tinggi menjulang, sibuk dengan angkutan massal lalu-lalang.

Meskipun, aku tak habis pikir, tak jemu-jemunya si Eko menonton episode-episode Upin Ipin yang berulang ini. Ia masih saja bisa tertawa di beberapa bagian yang sekarang hanya membuatku tersenyum.

Kali ini cerita tentang Kak Ros yang menunggu di minimarket karena hujan turun deras, ia tak bisa pulang karena payungnya tertinggal. Kak Ros mengabarkan lewat telepon, si Upin yang mengangkat. Adiknya menawari untuk menjemput, tapi Kak Ros menolak dengan galak.

Hehehe, melihat si Upin dan Ipin serta interaksi mereka dengan Kak Ros, mengingatkanku pada adik kembarku sendiri, Umar dan Said---Maum-Aik

*

"Ke mana adik-adikmu, kok belum pulang?", Ibu dengan kekhawatirannya yang tak jarang berlebih.

"Main mereka, Bu... paling dengan Aning dan Mardi."

"Main ke mana mereka? Lama sekali. Ini sudah lewat jam makan siang, tak laparkah dua anak itu?"

"Kalau sudah main bersama, mana terasa lapar, Bu?", ujar Nahar, adikku persis, ternyata ia tak terlalu khusyuk juga belajarnya.


Bunyi kerincing sepeda begitu nyaring, disusul isak tangis.

"Aik!", kekhawatiran Ibu berganti panik, "Umar! Said kenapa?"

Aku dan Nahar bergegas ke depan. Sepeda Said dituntun oleh Mardi belakangan. Maum menuntun kembarannya, Aik, yang tersedu-sedu.

"Kami lomba sepeda, Bu. Cepat-cepatan, Aik terjatuh, lututnya berdarah."

"Is! ambilkan kotak obat!", Ibu memerintahku.

"Ibu kan sudah bilang, adik-adikmu ini ditemani! Mereka baru saja bisa bersepeda, jangan dilepas, lihat akibatnya!", Ibu merenggut kotak perobatan dari tanganku.

"Mbak Is ndak salah, Bu. Aik yang ndak hati-hati, Aik kaget, Bu", Said masih sempat-sempatnya membelaku di tengah sedu sedannya. Umar bergelayut di pinggangku.

"Perih, Bu! huhuhuhuhuhuhu", tangis Aik semakin kencang saat Ibu membersihkan luka lututnya.

"Lukanya sedang dibersihkan, Le... Cah bagus...", Ibu mencoba menenangkan Aik.

Tangisnya perlahan mereda bersamaan dengan luka yang ditutup kasa dan plester.

"Kalian pasti lapar, sambal bajak udang sudah menanti dari tadi, ayo makan!", Ibu menggandeng Aik di kanannya, menyusul Maum di kirinya, tak lupa Ibu juga mengajak Mardi.

Nahar merangkulku, "Sudah, Mbak. Belajar sepeda harus tahu jatuh, kan?", aku hanya tersenyum.

*

"Mbak Is", Aik memanggil, bersandar pada pintu kamarku yang terbuka. Matanya ketakutan. Aku membentangkan tangan memintanya menyambut pelukanku. Langkahnya sedikit tertatih, Aik memelukku, tangisnya pecah.

"Heee kok nangis lagi? Masih sakit lututnya, Ik?", Aik menggeleng.

"Maafkan Aik, Mbak. Gara-gara Aik, Mbak Is dimarahi ibu", aku menghapus air matanya.

"Kamu ini, kok perasa sekali tho, Ik. Mbak ndak apa sudah, ibu itu hanya panik saja, sudah...", aku mengambil sapu tangan, "buang ingusnya, Ik, nanti mampet."

"Mbak", Aik merogoh saku celananya, "untuk Mbak Is."

Aik memberiku gulali, "Tadi Aik beli, buat Mbak Is saja, terima kasih sudah ngajari Aik bersepeda, Mbak."

Aku mengusap-usap kepalanya, "Terima kasih, adikku. Sudah jatuh bersepeda, nggak kapok kan, Ik?", Aik menggeleng ragu, "Lain kali lebih hati-hati, kamu pasti mau menyusul masmu tadi, ya?".

Aik hanya menyengir lebar. Aku memeluknya, lalu tetiba ada satu orang lagi berlari, ingin ikut dipeluk, Maum.

*

"Yang? Eyang kok nangis? Ceritanya sedih ya, Yang?", Eko menggoyangkan tubuhku.

"Eyang ini kalau lihat Upin Ipin jadi teringat Eyang Umar dan Eyang Said."

Eko memelukku, mencium pipiku yang basah, "Eyang jangan sedih", bujuknya.

"Eyang tidak sedih, Ko. Eyang terkenang memori manis, Eyang hanya kangen. Kangen sekali dengan adik-adik Eyang."

Eko memelukku, dalam peluknya air mataku mengalir pada baju anak kecil berusia lima tahun itu, mirip seperti puluhan tahun lalu. 

TAMAT

Bandung, 22 Agustus 2020

Selamat ulang tahun, Bapak dan Pakde!

Comments