Saya dan Bunuh Diri

Pernah dalam kehidupanmu, kamu butuh sekian jam, sekian hari, sekian minggu, atau seberapa lama waktu yang diinginkan untuk tidak diganggu oleh sekitarmu?


Aku sedang merasakan itu, bahkan rasanya ingin mengenyahkan bayang-bayangku sendiri. Seperti... ingin pergi dari dirimu sendiri. 

Berapa lama waktu yang kubutuhkan? 
Lama, selama mungkin, selama-lamanya bahkan.


Tulisan itu saya buat tanggal 27 September 2015 di jurnal pribadi saya yang dilabeli dengan tag 'monolog bunuh diri'.

Kali ini saya mau cerita hal yang mungkin buat beberapa orang akan mengagetkan atau mungkin juga ya... B aja. Tapi, saya pernah (mungkin juga masih) terpikir untuk membunuh diri saya sendiri.

Kenapa? Saya sendiri menamai alasan saya ingin bunuh diri dengan rasa frustrasi, capek dengan masalah yang itu-itu saja, tapi buntu, nggak ada jalan keluar, lebih tepatnya mungkin nggak ada support system untuk keluar dari masalah yang ada.

Tahun itu merupakan tahun ke tujuh Bapak saya nggak ada. Dan masa dari tahun 2014 ketika saya baru lulus kuliah sampai 2015 itulah urusan segala dokumen terkait peninggalan Bapak baru kami urus-urus. 'Kami' di sini seharusnya memang ibu, kakak saya, dan saya tentunya, tapi nyatanya saya merasa sendiri dalam mengurus hal-hal itu. Dan itu sangat menguras emosi saya. Bolak-balik bank, yang tidak hanya di Bandung, tapi juga Jakarta. Mengurus akta kematian yang ternyata belum dibuat, membuat akta kelahiran ibu saya (yang pada zamannya ternyata tidak dibuat oleh eyang-eyang saya), dan perintilan lainnya. Seperti benang kusut yang coba diurai tetapi terus menerus menemui kekusutan lain.

Ibu saya tidak apik dalam urusan penyimpanan dokumen. Jadi, segala persyaratan menyangkut hal yang harus diurus, harus saya cari sendiri dokumen-dokumen persyaratan itu. Kakak saya sudah tinggal di Singapura, jadi saya tidak bisa berharap banyak. Dan keadaan saya yang masih pengangguran menguntungkan dari sisi waktu, tetapi apes dalam masalah duit.

Saat saya mengutarakan bahwa saya butuh bantuan, keadaan malah dibalikkan pada saya yang belum juga mendapat pekerjaan. Di situ saya frustrasi, capek, dan merasa kenapa sih harus saya yang lahir ke dunia ini. Kenapa kakak laki-laki saya yang harus meninggal. Kenapa nggak dia yang ada dan saya yang nggak usah ada.

Berpikir tentang bunuh diri, lantas nggak membuat saya berani untuk mengambil tindakannya juga. Saya (terlalu) takut. Kepikiran juga... iya, kalau langsung mati? kalau ternyata tahu-tahu saya bangun dan masih hidup? Apa nggak makin berabe?

Kalau rasa frustrasi itu sudah muncul, yang bisa saya lakukan hanya mencakar-cakar diri atau coret-coret tangan dengan pulpen, dan nangis tentu.

Perasaan itu menghilang seiring hidup terus berlanjut (baca: ditumpuk jadi masalah), dan di tahun ini perasaan ingin bunuh diri muncul lagi karena masalah lain, tapi intinya itu... saya merasa sendiri dan kenapa saya yang harus ada di dunia ini.

Saya nggak tahu lagi harus gimana sampai akhirnya saya menceritakan semuanya sama satu teman kuliah saya di kosannya. Berulang kali bilang
aku capek
aku capek
aku capek

dan nangis sejadi-jadinya.

Dari hasil cerita itu, saya mendapat penguatan bahwa saya tidak salah, karena ada hal yang membuat saya merasa begitu berdosa. Teman saya bilang, "aku senang Jenie masih ada", sambil genggam tangan saya kuat.

Saya nggak tahu apakah semuanya membaik sekarang, yang saya sadari saya begitu punya banyak 'sampah batin' dan banyak PR buat bersih-bersih. Dan kebetulan pas lagi begini, suka ada ig live story dari Ayla Dimitri dan Reza Gunawan tentang self-healing, yang saya tonton dan coba praktikan teknik-tekniknya.

Rencananya, saya ingin membuat rangkuman tentang self-healing itu, mudah-mudahan bisa saya bagi di blog, ya :)

Saya masih ada, (tidak selalu) baik-baik saja, tapi mencoba menderita dengan lebih terampil.
Terima kasih sudah baca, cheers!

Comments