Kegemaran Masyarakat Indonesia akan Basa-Basi dan Susahnya Asertif

Postingan berikut akan sangat kental dengan curhatan dan common sense tanpa banyak research sana-sini ya, jadi... jangan pada protes, haha!

Judulnya panjang ya? Tapi ya itulah yang ingin saya utarain di sini, tentang kebiasaan kita untuk berbasa-basi dan susahnya asertif (lagi pula apa itu asertif, huh?)

Curhatan ini bermula dari kejadian yang masih segeeer banget kayak ikan baru ditangkap sama nelayan dari laut. Tentang saya yang dikritik sama senior di kantor mengenai kemampuan saya buat berbasa-basi yang payah sekali. Senior di sini jangan dikira hanya setahun-dua tahun-tiga tahun di atas saya ya, tapi jauh di atas sana :p

Ok, sederhana kok... hanya karena saya yang tidak menawarkan jajanan yang saya beli pada para senior (generasi baby boomers) di ruangan saya. Apakah jajanan itu? Lumpia basah seharga lima ribu rupiah berbungkus daun pisang dibungkus lagi dengan plastik dan dilengkapi sumpit sebagai alat makan.

Kenapa saya tidak menawarkan?
1. Senior saya sedang berpuasa pada hari itu.
2. Saya rasa, lumpia basah berbungkus plastik dengan sumpit sebagai media perantara buat makannya itu bukanlah jenis makanan yang etis untuk ditawarkan pada kolega, senior, dan tidak ada ikatan darah sama sekali. Berbeda halnya ketika itu teman sebaya, kakak, adik, orang tua sendiri. Bayangkan. Bayangkan air liur saya yang ada diantara kulit lumpia, toge, rebung itu. Bayangkan.
3. Sesederhana: memang (sedang) tidak ingin berbagi.

Tapi, di mata senior saya, perbuatan itu salah. Ditambah pula, ada senior lain yang menyindir saya dengan berkata, "Gita masa lupa sama ibunya...", yang saya anggap memang begitulah cara beliau bercanda dan saya tidak tanggapi secara serius.

Singkat cerita, senior saya ini mengungkapkanlah kegelisahannya pada senior saya yang lain (yang ini umurnya dekat, tidak jauh-jauh) bahwa intinya... apa salahnya sih berbasa-basi.

Reaksi saya? Awalnya hanya tertawa diiringi perasaan tidak enak. Setelah dipikir dan makin mikir-mikir sampai rumah, timbulah rasa sebal, salah amat ya gue sampai rasa-rasanya pengen menyindir dan menyiyir. Berhubung memang lagi PMS juga, kalo kata salah satu teman saya "orang PMS itu keinginan buat ngajak berantemnya tinggi", begitulah... kesimpulannya pengen gue ajak berantem :))

Saya kalau sudah kesal dan pada dasarnya memang lebih senang memendam perasaan, yang keluar malah makin salah, jadi judes, ketus, dan bicara seadanya. Dan buat saya, itu tidak nyaman, apalagi bagaimanapun ya senior saya ini bisa dianggap sebagai orang tua. Serese-resenya orang tua tetap harus dihormatin, kan?
Dan yang saya tidak suka juga, kenapa ketidaknyamanan beliau akan sikap saya harus disampaikan lewat perantara? Kenapa tidak langsung bicara saja? Itu juga yang pada akhirnya membuat saya ingin asertif.

Asertif. Apa sih itu asertif? Dari sisa-sisa ilmu psikologi yang masih bercokol di otak, asertif itu mengungkapakn apa yang kita ingin ungkapkan dengan cara yang baik, tidak menyakiti orang lain. Yang setelah saya pikir-pikir... sepertinya itu hanyalah mitos.
Menurut saya pribadi, mungkin masing-masing orang punya definisi sendiri tentang asertif, walaupun sebenarnya istilahnya akan berbeda dalam sudut pandang ilmunya. Tapi mungkin bagi si A menyampaikan perasaan dengan begitu agresif itu menurutnya adalah cara dia berasertif. Padahal, apa yang dia sampaikan menyakiti orang yang bersangkutan. Seperti itulah (menurut saya).

Apakah ada orang yang benar-benar tidak tersakiti dengan asertivitas kita? Katakan dalam hal ini menyampaikan sebuah kritik. Apakah iya ada orang yang dengan begitu lapangnya menerima kritik itu?

Ya sudah, menyingkat cerita, dua hari saya kesal, judes, ketus, disertai asam lambung naik dan tumbuh dua sariawan (lain tah, kegigit meureun ieu mah), akhirnya saya omongin baik-baik dengan senior saya ini.

Hasilnya?

Inti yang bisa saya simpulkan ya... perbedaan persepsi antargenerasi.
Di mana sindiran senior saya, saya anggap sebagai bercandaan, sedangkan beliau menganggap itu adalah sensitivitas senior saya menangkap perasaan beliau.

Di mana saya merasa untuk apa berbasa-basi menawarkan dengan segala alasan saya di baliknya, sedangkan beliau menyadari bahwa mungkin memang kalaupun ditawarkan, ia juga akan menolak, tapi pada intinya... orang tua itu senang diperhatikan, meskipun dari pertanyaan kecil dan sederhana.

Dari segala perbedaan persepsi dan pendapat-pendapat beliau hingga detik saya menuliskan curhatan ini, banyak hal yang tidak saya setujui. Tapi begitulah hidup, bukan?

Dalam pemikiran saya, tetap saya tidak merasa salah, but even you do no wrong, still... you have to apologize, dan menjadi anak muda, junior, latar belakang bungsu pula, harus banyak minta maaf.

Haha, beliau juga minta maaf, kok. Pada akhirnya semuanya clear, dalam artian ya sudah toh... sudah saling mengungkapkan latar belakang masing-masing.

Walaupun pada ujungnya masalah ini malah menambah kerudetan lain, tapi sudahlah... saya sudah melakukan apa yang mau saya lakukan dan saya merasa tidak salah, hanya mungkin tidak beruntung dan salah waktu serta tempat.

Sekian. Maafkan saya bukan anak manis yang bisa berbasa-basi tapi hidup dalam masyarakat yang membudayakan basa-basi, should live with it. Terima kasih. CHEERS!

Comments