Luapan Rindu

Sinar hangat mentari mengintip pada serat-serat kain tirai jendela kereta, membuat lelapku perlahan terusik. Kulirik arloji yang melingkari pergelangan, tersenyum.
Jantungku berdebar lebih cepat, napasku terengah seakan kurang oksigen.
Tiga jam lagi, anakku... kita akan bertemu. Ibu pulang, sayang.

***

Lima puluh menit lagi kereta akan menjemputku. Namun, aku sendiri perlu beli makanan, juga masih harus mengepak sedikit lagi barang-barangku. Belum kemacetan kota menjelang akhir pekan yang susah-susah gampang ditebak. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk semua itu? Dua menit pikiran-pikiran itu membuang waktuku semakin sedikit dan Mas belum juga muncul.

Bayangan kereta berlalu begitu saja muncul di otakku atau antrean rumah makan padang favoritku yang tak maju-maju membuatku makin resah, takut terlambat. Aku mulai sebal sendiri,
Mana sih Mas itu??, celotehku dan air mata mulai mengalir. Makin lama makin deras seiring tak kunjungnya suamiku menjemput.

***

Kereta masih melaju pelan, tapi aku tergopoh-gopoh mengejarnya dibantu seorang porter membawa barang-barang yang makin mengukuhkanku menjadi emak-emak rempong. Bapak porter naik terlebih dulu lalu bantu menarikku, sedikit terhuyung menuju gerbong.

Sedikit lega. Aku terlambat tapi tidak tertinggal. Kursi tempatku duduk juga masih kosong, syukurlah aku bisa memompa dengan tenang.
Kutaruh segala perlengkapan, membuat diriku sendiri nyaman, bersender, memejamkan mata, mengatur segala sesuatunya normal seperti sedia kala, mencoba tak merasakan peningnya kepala.

Ponselku bergetar, memunculkan pesan singkat suamiku,
Maafin aku ya, Non.

Ini lagi, mengusik emosiku kembali.
***

Aku bisa melihat peluh keringatnya. Bagian belakang kemejanya basah, entah karena keringat itu atau rintik-rintik hujan yang makin deras sore ini. Ia membantu mengepak sepaket botol-botol berisi ASI untuk anak kami. Ia potong aluminium foil untuk menutupi botol-botol itu. Kemudian, merekatkannya lagi dengan plastik agar semakin ajeg dan udara luar tidak mudah masuk agar box tetap bisa menjaga kebekuan sumber-sumber gizi anak kami.

Hatiku terenyuh, mengelap keringat di dahinya,
Makasih ya, Ayah ASI.
Biasa aja, kali, katanya memutar bola mata.
***

Aku terharu sendiri mengingat rutinitas kami tiga kali seminggu itu.

Mas, sapaku, Maafin aku juga, tapi jangan diulang lagi, panik tahu!

Bisa kurasakan kelegaan di seberang sana.
Iya, Non, jawabnya.

Mas, si suami penurut.
***

Matanya, seperti melihat diriku sendiri. Pipinya makin gembil. Tangannya, pahanya, berlipat-lipat, mengingatkanku pada croissant. Bokongnya bulat terlindung kain batik yang membedongnya dalam pelukan ibuku. Kepala bundar dengan rambut tipis bergelayut manja dalam dekapan hangat eyangnya.

Aku keluar dari taksi. 
Berkali-kali Ibu harus mengingat bernapas setiap bertemu lagi denganmu, Nak. Kamu bergeming saja melihat ibumu sendiri. Lupakah kamu pada Ibu, sayang?

Ibuku melepas kain bedong, menunjuk-nunjuk aku, mengatakan dengan sayang pada cucu pertamanya itu,
Ibu datang itu, le... Ibumu.

Ibu membuka tangan siap merengkuhmu, Nak. Tatapmu masih begitu ragu untuk berpindah pada Ibu, tapi tak juga kamu enggan.
Mata bundarmu menatap Ibu. Kita saling tatap.

Kucium lembut dahinya, meresapi wangi anakku, wangi bayiku, wangi parfum paling mahal di dunia ini, wangi paling kurindukan tiap detik di kota rantau.

Kita ketemu lagi, Nak, bisikku menahan luapan rindu yang akhirnya tertuang juga.

Lalu, mulailah anakku tersenyum, menjalarkan kehangatan abadi ke seluruh tubuh.

TAMAT

27 Agustus 2016
10.09
di RS Santosa

#selamathariibu

Comments