Hotel Nyland

"Bagaimana kalau kita bertemu besok pagi? Sarapan bersama?", tanyanya di penghujung perbincangan kami lewat telepon.

"Kali ini beneran apa wacana lain lagi ini?", tanyaku meragukan.

Tawanya masih renyah terdengar di seberang sana, "Kalau kumpul berlima itu baru wacana, tapi kalau cuman kita berdua, bisalah terwujud. Sarapan saja, Dik."

"Ok, Mas. Di mana?"

"Hotel Nyland. Hotel dekat daerah kosan kita dulu itu, bagaimana?"

"Widih... sarapan di hotel sekarang kita, Mas?"

"Ha ha ha puluhan tahun berlalu, masak mau makan di warteg terus kita. Hotel Nyland pukul delapan besok, ya!"

Maka kuiyakan, sambil meyakini diri sendiri bahwa masih ada uang mencukupi.

***

"Di mana, Dik?", tanyanya lewat telepon.

"Saya sudah di lobi Hotel Nyland, Mas.Restorannya yang mana ya, Mas?"

"Coba kau keluar lobi, Dik. Restorannya ada di luar hotel. Dekat plang hotel yang huruf-huruf kuning di depan. Aku sudah di sini", begitu akhirnya tanpa berpamitan, tanpa disudahi dengan kesepakatan menghampiri.

***

Di sanalah ia, seniorku di kampus dulu, veteran yang bertahan mengulang kelas demi kelas bersama angkatanku, melambaikan tangan antusias sambil menyomot kerupuk.

"Ayok, Dik. Pesan. Mau pakai apa? Telor? Usus? Ampela? Ati? Atau lengkap semua?"

Aku menatap si tukang yang menunggu pesananku. Dari sini aku bisa membaca huruf-huruf balok kuning biru di gerobaknya BUBUR MANG KUMIS (DEPAN HOTEL NYLAND) dengan warna kuning tersendiri untuk si 'Hotel Nyland'.

Aku duduk di sebelah seniorku itu, "Ayok, pesan apa, Dik?", desaknya sambil menyantap bubur ayam spesial di depannya.

"Omong-omong... uangku pas-pasan. Kalau kurang, kau talangi dululah, ya!", katanya menepuk-nepuk bahuku.

Aku menuangkan teh hangat, mencoba membasahi kerongkongan yang sedari tadi tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ehm.

TAMAT



11 Oktober 2016
20.07
di rumah

Comments