Begini Ceritanya,

Imajinasiku akan latar Jakarta era bernama Batavia buyar sudah ketika perempuan di sebelahku menepuk pundakku dengan antusias,

"Hei, mana kakaknya? Sudah selesai hair spa-nya? Atau sudah pulang malah?", tanyanya seberondong.

Aku mengernyitkan dahi, antara kesal kegiatan bacaku terusik sekaligus mencerna deretan pertanyaannya. Belum juga kujawab, ia mencerocos lagi sembari menikmati es cendol pesanannya yang entah datang kapan.

"Siapa namamu, Dik? Aku lupa."

"Krisan", aku mulai dari pertanyaan itu diiringi senyuman. Lalu, kujawablah bahwa kakakku mampir ke pusat pertokoan dekat sini, tidak betah menunggu antrean salon terlalu lama.

***

"Kakak siapa namanya? Aku juga lupa", aku memanggilnya kakak, sama seperti panggilan pada kakakku.
"Ayu", jawabnya.

Sudah. Ia tak bertanya lagi. Dengan begitu. kupikir bisa kulanjutkan lagi baca novel yang tergeletak diam berhenti di tengah jalan tadi. Baru juga aku cari-cari halaman, tetiba dingin telapak tangannya terasa lewat genggaman di pergelanganku,

"Boleh kutanya sesuatu?"

Aku tersenyum ragu, tapi kuanggukkan kepalaku juga. Ia dekatkan kursinya, memelankan suaranya, "Benar berita yang beredar? Kakakmu batal menikah dengan tunangannya, pacarnya sedari SMA dulu itu?"

Perempuan, suka sekali mengorek-ngorek sesuatu.

***

"Ups. Maaf ya kalau menyinggung, kamu kan adiknya", sambil terus menatapku menunggu jawaban.

Aku menghela napas, "Ya, itu benar. Bekas tunangannya menghamili perempuan lain. Perempuan itu tahu-tahu datang ke rumah. Awalnya, siapa yang benar-benar percaya, tapi itu ternyata realita bukan rekayasa."

Selama aku bercerita, teman perempuan kakakku itu terbengong-bengong, tampak terkesima tak menyangka. Berawal hanya ingin konfirmasi sebuah berita, malah mendapatkan berita-berita tambahan bersumber dari orang terpercaya pula.

Lalu, perbincangan kami terhenti. Mbak-mbak salon menghampiriku untuk mengantar bahwa sudah saatnya rambutku dibilas. Teman perempuan kakakku juga harus menghabiskan minumannya sambil menunggu tiap warna cat meresap ke akar-akar rambutnya. Sambil tak henti menatap layar ponsel, mengetik secepat kilat, layaknya juru tinta mengejar tenggat waktu terbit besok pagi.

***

Aku bisa sedikit tenang saat suasana begitu berisik karena pengering rambut, cukup mampu membuat si teman kakakku terdiam sibuk sendiri dengan ponsel dan es cendol yang belum habis-habis juga. Saat suasana sudah tenang kembali, si teman kakakku nyeletuk kembali,

"Aku turut prihatin akan kakakmu, ya. Lebih baik ketahuan sekarang toh daripada sudah telanjur terikat selamanya."

Aku hanya tersenyum berterima kasih sembari merapikan rambutku yang tampak baru, meski tidak dipotong sehelaipun. Wangi, mengembang rapi, dan berkilau. Beginilah mungkin rasanya jadi model iklan sampo.

"Ayu! Hai!", tetiba suara riang seorang perempuan lainnya terdengar. Ia hampiri si teman perempuan kakakku itu, saling berpelukan dan menempelkan pipi yang disebut-sebut dengan istilah cipika cipiki.

"Belanja, kamu? Katanya nggak sabar menunggu antrean? Adikmu saja sudah selesai begitu", katanya.

Dua perempuan itu melihatku lewat cermin. Satu dengan senyum tak lepas terukir, satu lagi dengan senyuman yang berganti kebingungan.

"Saya duluan ya, Kak", pamitku sambil menepuk punggungnya dan mengangguk singkat pada temannya yang baru datang tadi.

Urusanku selesai. Maka, kuselesaikan pula ceritaku sampai sini.

TAMAT



10 September 2016
16.58, di rumah

Comments