Tuesdays with Morrie : an old man, a young man, and life's greatest lesson


yap.. gw baru saja merampungkan kegiatan baca nih novel satu, dan seperti judulnya banyak banget pelajaran hidup yang berharga :)
Tuesdays with Morrie sendiri itu merupakan sebuah memoar dari sang pengarang, Mitch Albom, bersama guru/profesor kesayangannya, Morrie Schwartz... hubungan mereka memang dekat sejak Mitch ada di bangku kuliah dan mengambil mata kuliahnya Morrie di bidang sosiologi atau psikologi sosial, macam itulah...

selepas Mitch lulus, pas hari sarjana Morrie meminta Mitch untuk keep in touch, walaupun pada akhirnya mereka baru bertemu lagi 16 tahun kemudian. Kesehatan Morrie-pun memburuk, dia mengidap ALS (Amyothropic Lateral Sclerosis), penyakit syaraf yang menyerang bagian motorik.
Dengan bertemunya coach dan player-nya ini *sebutan mereka ttg hubungan guru-murid*, Mitch dan Morrie sering mengadakan pertemuan di hari Selasa *yea.. that's why it's titled Tuesday with Morrie* di hari itu, mereka 'cuma' ngobrol2 bicara tentang arti hidup... apapun...ttg dunia, penyesalan, keluarga, emosi, pernikahan, budaya, uang, dan semua itu berpusat pada suatu fase yang akan segera Morrie hadapi, kematian... berikut dengan keadaan Morrie yang makin hari makin lemah, tapi tetap punya semangat untuk berbagi sama orang lain dan mencari makna hidup itu sendiri. Ternyata memoar ini itu adalah the last thesis yang dirancang oleh Mitch dan Morrie... Morrie ingin berbagi tentang pemikiran2 mereka dan menginspirasi orang lain, and it works for me ;)

ada satu bagian di hari selasa keduabelas dimana mereka bicara tentang forgiveness--memaafkan, baik diri sendiri maupun orang lain, ada satu penggalan kata2 dari Morrie yang buat gw sangat berarti:
It's not just other people we need to forgive, Mitch. We also need to forgive ourselves. Yes. For all the things we didn't do. All the things we should have done. You can't get stuck on the regrets of what should have happened. That doesn't help you when you get to where I am...

yap... sampai sekarang pun gw masih susah untuk 'berangkat' dari penyesalan akan sesuatu hal, terutama menyangkut kepergian bapak, memaafkan diri sendiri itu susah, butuh proses, tapi emang bener... itu nggak ada gunanya.

banyaaakk bgt pelajaran ttg hidup yg gw dapet dari buku ini, salah satunya ttg emosi. Kadang kita sering larut dalam satu emosi tertentu dan membiarkan emosi itu mengontrol kita. Misalnya, kita merasa sedih ditinggal orang yang dikasihi, dan kita terus larut dalam kesedihan itu, padahal kita cukup tahu kalau, ok...gw merasa sedih karena ini dan itu, tapi gw nggak mau larut dalam hal itu, dan harus moving forward..

dari memoar ini gw juga belajar bahwa Morrie sangat menerima proses menuanya dia dan memandang kematian itu sebagai sesuatu yang alami. Ada satu dialog dimana Mitch bertanya apa Morrie nggak iri melihat orang yg masih muda yang masih cekatan dalam hal apapun...dan Morrie cuma bilang yg kurang lebih seperti ini "buat apa gw ngiri, toh gw sudah pernah mengalami hidup di usia 3 tahun, 5 tahun, 20 tahun, 30 tahun, 50 tahun... itu sesuatu yang alami, Mitch.." yah... dan begitulah, kematian itu sesuatu yang pasti terjadi, manusia lahir-hidup-mati...

sejak bapak meninggal, gw seperti diingatkan bahwa kematian itu pasti datang pada siapa pun termasuk orang yang kita kasihi.. kadang kita merasa takut untuk tidak melihat lagi fisik orang itu, tapi toh jiwanya akan selalu 'hidup' bukan? Melihat benda2 yang berhubungan dengan bapak pun gw kadang merasa beliau masih hidup, bahkan kadang kalo gw lagi nyari barang2nya bapak, gw sering kepikiran gw sms bapak ah..nanya kameranya ada dimana.. yap... it was happened--couple of times-- bahkan sampai satu tahun kepergiannya... sekilas sedih merasakan itu, tetapi kalau gw tilik2 lagi itu menandakan bahwa dia selalu hidup dalam hati gw dalam hati siapa pun yang mengasihinya :')
seperti kata2 Morrie yang sangat gw sukai:

Deaths ends a life, not a relationship

Comments